Gizi Buruk di Negeri Subur: Ironi yang Masih Terjadi
Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, Tapi Anak Tetangga Kurus Kering
Indonesia itu negara yang katanya kaya raya. Bukan cuma kaya sumber daya alam, tapi juga kaya slogan. Dari “Gemah Ripah Loh Jinawi” sampai “Indonesia Emas 2045”. Tapi sayangnya, ada satu hal yang masih bikin hati perih dan dahi berkerut: gizi buruk.
Bayangkan saja, negara yang sawahnya luas kayak lapangan bola, kebunnya subur macam taman surga, dan lautnya penuh ikan—eh, malah banyak anak-anak yang tumbuhnya kayak Wi-Fi di kampung: lelet dan sering putus sambung. Ini bukan cuma soal nasi dan lauk, tapi soal sistem yang kayaknya lebih doyan bikin program daripada nyelesaiin masalah.
Dapur Ngebul, Tapi Isi Piringnya Masih Misteri
Ironis memang, di negeri yang tiap pekan ada lomba masak di televisi, isi piring sebagian rakyatnya masih nggak layak tampil di Instagram. Protein hewani kadang cuma mampir pas Idul Adha, dan sayur mayur lebih sering jadi hiasan daripada bahan makanan.
Banyak keluarga yang terjebak pada pola makan “yang penting kenyang”, bukan “yang penting bergizi”. Nasi sebakul, kerupuk dua, lauknya? Angin surga. Ujung-ujungnya anak tumbuh dengan berat badan kurang dan tinggi badan stagnan. WHO sudah capek ngasih peringatan, tapi kita masih sibuk selfie sambil makan mi instan.
Gizi Buruk, Tapi Anggaran Gemuk
Nah, ini dia bagian paling absurd. Setiap tahun, pemerintah https://dryogipatelpi.com/ daerah dan pusat punya anggaran gizi yang kalau dijumlahin bisa bikin festival makanan gratis sebulan penuh. Tapi entah kenapa, gizi buruk masih bertengger di statistik dengan gaya santai. Apakah anggarannya nyasar ke seminar-seminar mewah? Atau habis buat beli banner yang isinya “Ayo Makan Bergizi!” tapi dipasang di tempat yang nggak ada makanan?
Lebih lucunya lagi, kampanye makan sehat sering digelar di hotel berbintang, dengan peserta yang udah jelas punya akses makanan sehat. Sementara warga yang butuh malah nggak tahu acara itu ada.
Solusinya Bukan Sekadar Slogan
Kalau mau serius, ya jangan setengah-setengah. Edukasi gizi harus masuk ke ibu-ibu muda, bukan cuma lewat buku KIA yang tebalnya kayak kitab suci tapi dibaca pun jarang. Penyuluhan harus kreatif, mungkin bisa lewat sinetron atau TikTok—biar nyampe ke hati rakyat yang lebih hafal lirik lagu dangdut daripada panduan isi piring sehat.
Dan tentu saja, akses terhadap bahan makanan bergizi harus dibuka lebar. Harga telur jangan mahal kayak smartphone bekas. Ikan jangan cuma dikonsumsi oleh orang pesisir. Dan susu? Jangan jadi barang mewah.
Penutup: Ironi yang Bisa Diakhiri
Gizi buruk di negeri subur itu ibarat punya kulkas tapi isinya kosong. Kita nggak kekurangan makanan, kita cuma kurang sistem yang adil dan edukasi yang nyambung. Jadi, yuk kita ubah ironi ini jadi inspirasi. Jangan sampai generasi masa depan kita cuma jadi korban data statistik yang kita baca sambil makan mi goreng jam 10 malam.